Seputar Onani dan Masturbasi

k lebih dari sepuluh kali), didenda, dihajr (diboikot), didamprat dengan celaan, atau lainnya, yang dipandang oleh pihak hakim dapat membuatnya jera dari maksiat itu dan bertaubat. [4] Wallahu a’lam.

Kesimpulannya, masturbasi tidak bisa disetarakan dengan zina, karena tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Namun onani adalah maksiat yang wajib untuk dijauhi. Barangsiapa telah melakukannya hendaklah menjaga aibnya sebagai rahasia pribadinya dan hendaklah bertaubat serta memohon ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Apabila urusannya terangkat ke mahkamah pengadilan, maka pihak hakim berwenang untuk memberi ta’zir (hukuman) yang setimpal, sebagai pelajaran dan peringatan baginya agar jera dari perbuatan hina tersebut. Wallahu a’lam.

MENGHILANGKAN KEBIASAAN ONANI

Pertanyaan: Assalamu’alaikum. Saya seorang remaja muslim yang terjebak kebiasaan buruk onani. Saya tahu hal itu tersebut adalah kesalahan dan saya ingin menghentikannya tapi saya belum mampu. Tolong berikan saya nasehat bagaimana cara menghentikannya. Dan tolonglah beritahu saya apa akibat buruk onani bagi kesehatan dan dampaknya pada hubungan suami istri setelah menikah. Karena ada beberapa kalangan termasuk ahli kedokteran yang menganggap perbuatan onani adalah normal, padahal yang saya tahu apa yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dikerjakan manusia adalah agar mereka menjauhinya, tidak mengerjakannya untuk kepentingan (kemanfaatan) manusia sendiri.

Jawaban:

Wa’alaikumussalam warahmatullah. Benar apa yang anda katakan bahwa apa yang dilarang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas hamba-hamba-Nya adalah demi kepentingan dan maslahat manusia sendiri. Tidaklah seorang hamba mengerjakan sesuatu yang haram kecuali pasti membahayakan dirinya sendiri. Di antara perbuatan haram yang terlarang adalah melakukan onani, apalagi sampai pada tahap jadi kebiasaan. Jadi perbuatan onani bukanlah perbuatan normal yang biasa-biasa saja. Para ulama dan ahli kesehatan juga telah menyatakan adanya mudharat yang akan merusak kesehatan pelakunya serta melemahkan kemampuan berhubungan suami istri ketika berkeluarga. Selain itu, onani merupakan perangai buruk yang rendah dan hina serta memalukan. Seorang muslim yang berakal dan berakhlak mulia akan menjaga dirinya semaksimal mungkin dari perbuatan yang hina ini, maka kami nasehatkan kepadanya hal-hal berikut ini:

1. Hendaklah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan memohon ampunan-Nya.

2. Menyabarkan diri agar tidak terjatuh kembali ke dalam kebiasaan buruk tersebut dan memohon pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala agar mampu menghindarinya.

3. Segera menempuh solusi yang akan membebaskannya dari onani dengan cara menikah, jika sudah mampu dalam hal biaya untuk itu.

4. Jika belum mampu menikah, hendaklah memperbanyak puasa hingga syahwatnya benar-benar hilang dan luluh dengan puasa.

5. Menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan ibadah dan kegiatan duniawi yang bermanfaat baginya untuk mengalihkan pikirannya dari onani.

6. Menjauhkan diri dari hal-hal yang membangkitkan syahwat, seperti melihat wajah dan sosok wanita secara langsung atau melalui gambar, bercampur-baur (ikhtilat) dengan wanita, dan yang semisalnya yang bisa membangkitkan syahwat.

Ini yang bisa kami nasehatkan, semoga anda dan yang mengalami hal yang sama dengan anda diberi hidayah dan taufiq oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk membenahi diri dan menempuh lembaran hidup baru di atas jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Seseorang tidak boleh berputus asa dari kebaikan dan rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala, kesempatan masih terbuka lebar dan tidak ada kata terlambat selama hayat masih dikandung badan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

“Bersemangatlah engkau untuk meraih apa-apa yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, serta janganlah engkau berputus asa.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

MASTURBASI MEMBATALKAN PUASA?

Pertanyaan: Apakah membatalkan puasa seseorang yang melakukan masturbasi hingga mengeluarkan air mani?

Jawaban:

Perlu diketahui bahwa masturbasi hingga ejakulasi (istimna’) dengan bantuan tangan sendiri atau dengan bantuan alat hukumnya haram atas laki-laki dan wanita, baik sedang berpuasa atau tidak.

Demikian pula halnya istimna’ yang dilakukan dengan bantuan tangan/anggota tubuh lainnya dari istri atau budak wanita yang dimiliki, atau pun bercumbu dengannya, berpelukan dan semisalnya, dengan maksud mencapai ejakulasi untuk memuaskan syahwat saat sedang berpuasa hukumnya haram, karena hal ini termasuk mengumbar nafru syahwat yang terlarang saat berpuasa. Begitu pula hukumnya atas wanita yang melakukannya dengan suami atau budak wanita dengan tuannya saat dia sedang berpuasa.

Guru kami yang mulia, Al-Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata dalam Ijabatus Sa’il (hal. 174): “Jika seorang lelaki bermesraan dengan istrinya (bercumbu dan berpelukan) untuk memuaskan syahwatnya dengan ejakulasi di luar farji istri, maka dia berdosa dengan itu. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda dalam hadits qudsi yang diriwayatkannya dari Rabbnya:

“Orang yang berpuasa meninggalkan makanannya, minuman dan syahwatnya karena Aku.” (Muttafaq ‘alaih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

Jika dia melakukan hal itu dalam keadaan jahil (tidak tahu hukum), maka ketika dia mengetahui hukumnya hendaklah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika dia bermesraan dengan istrinya dalam keadaan mengerti hukum bahwa boleh baginya bermesraan dengan istrinya [5] selain jima’ (bersetubuh), lalu dia mencapai ejakulasi, sementara dirinya tidak bermaksud untuk itu, maka dia tidak berdosa.”

Hal ini membatalkan puasa, seperti halnya ejakulasi yang dicapai dengan jima’ (bersetubuh) yang merupakan pembatal puasa, berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini dikuatkan dengan hadits qudsi di atas bahwa orang yang berpuasa menahan diri dari makanan, minuman, dan syahwat yang merupakan pembatal-pembatal puasa. Sementara ejakulasi merupakan syahwat dengan dalil sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

“Pada kemaluan setiap kalian ada shadaqah.” Para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah! Apakah salah seorang dari kami mendatangi syahwatnya dan dia mendapat pahala dengannya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tahukah kalian, kalau dia meletakkannya dalam perkara yang haram, apakah dia berdosa karenanya? Demikian pula halnya jika dia meletakkannya dalam perkara yang halal, maka dia mendapat pahala karenanya.” (HR. Muslim dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu)

Tentu saja ejakulasi saat orgasme (puncak kenikmatan syahwat) adalah syahwat yang terlarang saat berpuasa dan membatalkan puasa, dengan cara apapun seseorang mencapainya. Meskipun memang benar bahwa jima’ (bersetubuh) itu sendiri membatalkan puasa, walaupun tanpa ejakulasi.

Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad. Pendapat ini dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/224), Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin dalam Asy-Syarhul Mumti’ (6/386-388) dan difatwakan oleh Al-Lajnah Ad-Da’imah yang diketuai oleh Asy-Syaikh Ibnu Baz dalam Fatawa Al-Lajnah (10/259-260) rahimahumullah.

Inilah yang nampak bagi kami dalam permasalahan ini. Sangat sulit dibenarkan bahwa halal-halal saja bagi orang yang berpuasa untuk melampiaskan syahwatnya dengan ejakulasi selain jima’ (bersetubuh), padahal hal itu jelas-jelas merupakan pemuasan syahwat yang semakna dengan ejakulasi yang dicapai dengan jima’.

Kesimpulannya, jika hal itu sengaja dilakukan dalam keadaan mengerti hukum, maka pelakunya berdosa dan puasanya batal. Wajib atasnya untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak disyariatkan baginya untuk mengqadha (mengganti) puasa yang batal itu di luar bulan Ramadhan, menurut pendapat yang rajih (kuat). Karena yang rajih tidak disyariatkan bagi yang meninggalkan puasa atau membatalkan puasanya secara sengaja untuk mengqadha dan tidak ada dalil yang menunjukkan hal itu. Ini adalah pendapat Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmu’ Al-Fatawa (25/225-226), dan guru kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Ijabatus Sa’il (hal. 175).

Adapun masalah kaffarah, maka ejakulasi dengan selain jima’ (bersetubuh) tidak ada kaffarahnya, menurut pendapat yang rajih. Seluruh ulama yang kami sebutkan di atas sepakat dalam hal ini. Sebab dalil kaffarah hanya datang pada masalah jima’ atas orang yang membatalkan puasanya di bulan Ramadhan dengan jima’. Dan hal ini tidak bisa disamakan dengan ejakulasi tanpa jima’, karena jima’ urusannya lebih keras.

Keterangan ini untuk puasa wajib. Adapun puasa sunnah, maka boleh bagi seseorang untuk membatalkannya kapan saja dia mau dengan melakukan pembatal-pembatal puasa yang ada tanpa konsekuensi dosa. Namun ulama mengatakan bahwa tidak sepantasnya membatalkannya tanpa tujuan yang mengandung maslahat.

Wal ‘ilmu ‘indallah.

Catatan kaki:

[1] Pertama kali kami mendengar faedah ini dari guru besar kami, Al-Walid Al-Imam Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah dalam majelis beliau. Silakan lihat pula Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah (10/259), Al-Iqna’ pada Kitab An-Nikah Bab ‘Isyratin Nisa’. Hal ini merupakan ijma’ (kesepakatan) ulama sebagaimana dinukilkan oleh Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah dalam kitabnya yang berjudul Bulughul Muna fi Hukmil Istimna’, walhamdulillah -pen.

[2] Lihat tafsir surat Al-Mu’minun dalam Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Al-Baghawi, Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229), Fatawa Al-Lajnah (10/259), Tamamul Minnah (hal. 420), Majmu’ Ar-Rasa’il (19/234, 235-236), Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir -pen.

[3] Lihat Majmu’ Al-Fatawa (10/574, 34/229-230) -pen.

[4] Lihat Asy-Syarhul Mumti’ Kitab Al-Hudud Bab At-Ta’zir -pen.

[5] Maksudnya tanpa disertai niatan untuk memuaskan syahwat dengan ejakulasi di luar farji istri. -pen

Sumber:

• Majalah Asy Syariah no. 56/V/1431 H/2009, hal. 65-68.

• Majalah Asy Sya

Tinggalkan komentar